Gunung Kelud di Jawa Timur kini tengah menunjukan aktivitasnya dengan
memuntahkan abu vulkanik, pasir bahkan kerikil. Akibatnya, terjadilah
hujan abu bahkan hujan pasir dan kerikil di beberapa kota di Jawa Timur
hingga Jawa Tengah seperti Jogjakarta. Korban-korban abu ulkanik pun
berjatuhan.
Menurut catatan sejarah, letusan gunung yang terletak
diantara Kabupaten Kediri, Blitar dan Malang ini bahkan pernah menelan
korban jiwa sebanyak 5.160 jiwa pada tahun letusan yang terjadi pada
tahun 1919 silam.
Namun tahukah Anda, dibalik letusan gunung Kelud ada legenda rakyat dan mitos yang saling terhubung? Disebutkan, puncak Kelud merupakan tempat Prabu Brawijaya mengubur hidup-hidup Lembu Sura. Dan letusan Kelud selalu dikaitkan dengan sosok Lembu Sura. Lalu siapakah Lembu Sura dan bagaimana kisahnya?
Lembu Sura adalah sosok legenda rakyat berwujud seorang pemuda berkepala binatang dengan tanduk. Ia adalah Raden Wimba, putra adipati Blambangan yang dikutuk oleh sang ayah lantaran kelakuan buruknya.
Alkisah, sang penguasa Majapahit, Prabu Brawijaya tengah menggelar sayembara untuk mencari suami bagi puteri cantiknya yang bernama Dyah Ayu Pupasari. Sayembara tersebut berupa uji kekuatan merentangkan busur Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekadelima. Bagi siapapun lelaki yang berhasil melakukannya, dialah yang berhak menyunting sang puteri.
Sayembara digelar, namun tak satupun jago-jago beladiri yang berhasil memenuhi dua syarat uji kekuatan itu. Sampai tibalah Lembu Suro datang, dan berhasil menaklukan dua pusaka sakti milik Kerajaan Brawijaya itu.
Sayangnya, Dyah Ayu Pupasari atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Kilisuci enggan menikah dengan Lembu Sura yang memiliki rupa aneh tersebut. Melalui Prabu Brawijaya, sang puteri pun meminta satu syarat lagi kepada Lembu Suro, yaitu dibuatkan sumur berbau wangi di puncak Kelud. Sumur yang sedianya akan dibuat mandi berdua usai pernikahan tersebut harus selesai dalam semalam, sebelum fajar.
Demi cintanya kepada sang puteri, tak sulit bagi Lembu Suro untuk melakukan itu, terbukti dia berhasil membuatkan sumur yang diminta sang puteri dengan bala bantuan makhluk gaib. Namun nyatanya, sang puteri tetap bersikeras untuk tidak menikah dengan Lembu Suro.
Alhasil sang puteri pun membuat rencana agar pernikahan itu tidak terjadi dengan membunuh Lembu Suro. Kepada Prabu Brawijaya sang ayah, puteri Puspasari meminta untuk mewujudkan rencana itu. Keduanya pun berkhianat atas janji sayembara tersebut.
Syahdan, ketika Lembu Suro berada di dalam sumur tersebut untuk memeriksa wanginya atas perintah sang puteri, Prabu Brawijaya pun mengerahkan pasukan untuk mengubur hidup-hidup Lembu Suro di sumur tersebut dengan bebatuan.
Sebelum mati tertimbun, Lembu Suro berteriak lantang kepada sang puteri dan Prabu Brawijaya. Lembu Suro bersumpah akan merusak tanah kerajaan Brawijaya setiap dua windu sekali.
"Prabu Brawijaya, engkau raja yang licik, culas. Meskipun aku telah terpendam di sumur ini, aku masih bisa membalasmu. Yang terpendam ini ragaku bukan nyawaku. Ingat-ingatlah, setiap dua windu sekali aku akan merusak tanahmu dan seluruh yang hidup di kerajaanmu" begitu isi sumpah Lembu Suro.
Sumpah tersebut membuat sang Raja dan rakyatnya bergidik takut dan melakukan larung sesaji di kawah Gunung Kelud untuk menolak bala dari sumpah Lembu Suro. Bahkan hingga kini prosesi larung sesaji tersebut masih dilaksanakan oleh masyarakat Sugih Waras, setiap penanggalan 23 Syura dalam kalender jawa.
Sejak itu, masyarakat sekitar menganggap setiap letusan Gunung Kelud adalah wujud amukan dan dendam serta sumpah dari Lembu Suro yang cintanya terkhianati.
Namun tahukah Anda, dibalik letusan gunung Kelud ada legenda rakyat dan mitos yang saling terhubung? Disebutkan, puncak Kelud merupakan tempat Prabu Brawijaya mengubur hidup-hidup Lembu Sura. Dan letusan Kelud selalu dikaitkan dengan sosok Lembu Sura. Lalu siapakah Lembu Sura dan bagaimana kisahnya?
Wajah Lembu Suro Saat Gunung Kelud Meletus |
Lembu Sura adalah sosok legenda rakyat berwujud seorang pemuda berkepala binatang dengan tanduk. Ia adalah Raden Wimba, putra adipati Blambangan yang dikutuk oleh sang ayah lantaran kelakuan buruknya.
Alkisah, sang penguasa Majapahit, Prabu Brawijaya tengah menggelar sayembara untuk mencari suami bagi puteri cantiknya yang bernama Dyah Ayu Pupasari. Sayembara tersebut berupa uji kekuatan merentangkan busur Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekadelima. Bagi siapapun lelaki yang berhasil melakukannya, dialah yang berhak menyunting sang puteri.
Sayembara digelar, namun tak satupun jago-jago beladiri yang berhasil memenuhi dua syarat uji kekuatan itu. Sampai tibalah Lembu Suro datang, dan berhasil menaklukan dua pusaka sakti milik Kerajaan Brawijaya itu.
Sayangnya, Dyah Ayu Pupasari atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Kilisuci enggan menikah dengan Lembu Sura yang memiliki rupa aneh tersebut. Melalui Prabu Brawijaya, sang puteri pun meminta satu syarat lagi kepada Lembu Suro, yaitu dibuatkan sumur berbau wangi di puncak Kelud. Sumur yang sedianya akan dibuat mandi berdua usai pernikahan tersebut harus selesai dalam semalam, sebelum fajar.
Demi cintanya kepada sang puteri, tak sulit bagi Lembu Suro untuk melakukan itu, terbukti dia berhasil membuatkan sumur yang diminta sang puteri dengan bala bantuan makhluk gaib. Namun nyatanya, sang puteri tetap bersikeras untuk tidak menikah dengan Lembu Suro.
Alhasil sang puteri pun membuat rencana agar pernikahan itu tidak terjadi dengan membunuh Lembu Suro. Kepada Prabu Brawijaya sang ayah, puteri Puspasari meminta untuk mewujudkan rencana itu. Keduanya pun berkhianat atas janji sayembara tersebut.
Syahdan, ketika Lembu Suro berada di dalam sumur tersebut untuk memeriksa wanginya atas perintah sang puteri, Prabu Brawijaya pun mengerahkan pasukan untuk mengubur hidup-hidup Lembu Suro di sumur tersebut dengan bebatuan.
Sebelum mati tertimbun, Lembu Suro berteriak lantang kepada sang puteri dan Prabu Brawijaya. Lembu Suro bersumpah akan merusak tanah kerajaan Brawijaya setiap dua windu sekali.
"Prabu Brawijaya, engkau raja yang licik, culas. Meskipun aku telah terpendam di sumur ini, aku masih bisa membalasmu. Yang terpendam ini ragaku bukan nyawaku. Ingat-ingatlah, setiap dua windu sekali aku akan merusak tanahmu dan seluruh yang hidup di kerajaanmu" begitu isi sumpah Lembu Suro.
Sumpah tersebut membuat sang Raja dan rakyatnya bergidik takut dan melakukan larung sesaji di kawah Gunung Kelud untuk menolak bala dari sumpah Lembu Suro. Bahkan hingga kini prosesi larung sesaji tersebut masih dilaksanakan oleh masyarakat Sugih Waras, setiap penanggalan 23 Syura dalam kalender jawa.
Sejak itu, masyarakat sekitar menganggap setiap letusan Gunung Kelud adalah wujud amukan dan dendam serta sumpah dari Lembu Suro yang cintanya terkhianati.